MOHON MAAF SEDANG DI PERBAIKI !!!!

Senin, 09 Januari 2012

KAIN CEPUK NUSA PENIDA



Kesucian, perlindungan, keindahan, kekuatan, kegaiban merupakan beberapa makna kain Cepuk. Kain Cepuk dari asal katanya berarti “bertemu” atau “pertemuan”, ini sesuai dengan penggunaaanya yang selalu melibatkan pertemuan orang banyak. Kain ini secara khusus dipergunakan oleh penjual sarana-prasarana persembahyangan “tukang banten”, pengobatan tradisional “balian, dukun”, tarian tradisional seperti Barong Rangda, Joged, Baris serta tarian Bali lainnya (Hauser-Schäablin, 1990). Di samping digunakan dalam rangkaian upacara, kain Cepuk juga telah sering dipamerkan seperti pada Pesta Kesenian Bali, museum-museum serta pada pameran tekstil lainnya (http://www.balipost.co.id, 2007).
Kain Cepuk memiliki daya pikat yang tinggi karena memiliki corak yang khas dibandingkan dengan kain-kain lainnya yang ada di Indonesia, khususnya Bali seperti endek, songkét, prada, poléng, keling, dan geringsing. Variasi panjang kain Cepuk antara 1,2-2,5 meter. Setiap motif yang dibuat dalam kain memiliki nama-nama dan makna tersendiri. Contohnya Cepuk Arjuna (figur tokoh pewayangan), dan Cepuk Cenana Kawi (tentang motif kawi cendana) (Hauser-Schäablin, 1990).
Struktur desain kain Cepuk secara prinsip adalah latar belakang merah, kuning, pola garis-garis putih, hitam, biru, dan kuning. Pola ditengah kain Cepuk beraneka ragam seperti “saksak” bunga tunjung, “angket” rumput, dan pohon cemara. Pada pingggirannya sering menggunakan garis gigi barong seperti kumpulan ”bunga julit” , daun “bakung”, Kapu-kapu, dan hiasan katak. Garis putih yang terdapat pada kain Cepuk Nusa Penida dikenal sebagai “pangoh taji” semacam pisau yang digunakan oleh adu ayam petarung. Pada tahun 1987, beberapa penenun memproduksi desain yang lebih besar seperti gajah, Arjuna, Rama, dan dewi kesuburan (Dewi Sri) (Hauser-Schäablin, 1990).
Pembuatan kain ini sangat rumit, perlu kesabaran, serta daya seni yang tinggi. Dijelaskan oleh seorang penenun, Ni Nyoman Rentis, bahwa untuk menghasilkan delapan kain Cepuk yang panjangnya 2 meter, ia menghabiskan waktu dua minggu pada pengerjaan awal sebelum ia memulai menenun. Untuk satu hari ia membelitkan benang pintal dengan memutar suatu alat yang disebut dengan penamplikan. Pada proses ini pembelitan dan penataan benang dilakukan secara kontinyu sesuai dengan ukuran kain dan pola yang diinginkan. Hal ini dilakukan sampai 11-19 kali untuk memperoleh warna yang bagus. Kemudian sekitar lima hari lebih ia menjepit atau mengikat kumpulan benang dengan plastik pada beberapa tempat yang tidak akan dicelupkan warna merah. Sebelum ada plastik, pengikat yang digunakan berasal dari pelepah pisang “tali kupas” (Hauser-Schäablin, 1990).
Proses pencelupan memerlukan waktu tiga hari untuk pewarnaan yang komplit. Untuk warna dasar merah, kumpulan benang yang telah ditata dicelupkan secara keseluruhan pada wadah pencelupan (direndam sekitar 10 kali dengan campuran pencelup yang segar sampai kaya dengan warna merah), digantung dan dikeringkan. Proses ini harus dilakukan secara teliti karena akan berpengaruh terhadap kualitas kain (tidak mudah luntur). Pada bagian yang tidak tercelup (bagian yang diikat plastik) diwarnai dengan mengoleskan dan menggosokkan warna hitam atau putih atau kuning dengan bantuan sikat bambu kecil yang dikenal dengan “penyatrikan”. Pada proses ini dihasilkan buntelan benang yang siap dijadikan bahan tenun (Hauser-Schäablin, 1990).
Pewarna kain Cepuk berasal dari pewarna alami dan pewarna sintetik (buatan). Pencelup bahan alam tradisional memerlukan perawatan secara hati-hati. Pencelup merah diperoleh dengan campuran kulit luar akar (babakan) sunti atau tibah (Morinda citrifolia) dan minyak buah kemiri (Aleurites mollucana) yang dimasukkan dalam air, disaring dan diambil residunya. Untuk warna pinggiran biru digunakan daun taum (Indigo) dicampur dengan lemon, jahe, dan jenis daun lainnya. Warna kuning dibuat dari campuran kunyit, lemon jus, dan daun semangka. Warna violet dan hijau diperoleh dengan penggandaan pencelupan, warna hitam diperoleh dengan menambahkan indigo (daun taum) pada jelaga minyak kelapa dan palem. Pencelup sintetik yang digunakan adalah naftol untuk warna merah, dan direct dyestuff. Dyestuff dikenal sejak pemerintahan Belanda pada tahun 1908. Pencelup buatan tidak banyak berhasil karena warna serat bergeser dan jaraknya akan renggang pada keadaaan teduh, tetapi lebih sederhana dan cepat digunakan dibandingkan dengan pencelup alami (Hauser-Schäablin, 1990).
Pola-pola yang telah lengkap dan tersusun pada proses pencelupan, maka benang dikumpulkan secara terpisah menurut pengulangan desainnya. Selanjutnya Ni Nyoman Rentis melengkungkan benang pada alat pelengkungan berupa balok atau pasak tegak “penganyinan”. Beberapa hari kemudian dia menggulung lengkungan benang pada pasak dan pada waktu yang sama ia membentangkan benang dan membentuk pola yang diinginkan sesuai dengan daya kreasi dan inovasinya.
Proses selanjutnya, Ni Nyoman Rentis melakukan penenunan kain Cepuk. Alat tenun yang digunakan dikenal dengan cagcag. Cagcag merupakan alat tenun tradisional yang sama digunakan untuk pembuatan endek, dan songkét. Di Desa Tanglad, pada alat ini dijumpai pasangan artistik ukiran dengan gantungan bel yang bergemerincing dalam ritme pada saat menenun. Penyiapan lengkungan dan memasukkan benang dalam buluh-buluh pada cagcag dilakukan selama dua hari. Setelah semuanya siap, Ni Nyoman Rentis menenun selama dua hari lebih (dari pagi sampai senjakala) untuk memperoleh kain Cepuk. Biasanya hal ini dilakukan selama tiga hari jika menggunakan benang kapas (Hauser-Schäablin, 1990).

Kain Cepuk diyakini memiliki kekuatan mistik sebagai pelindung dari rintangan dalam melakukan upacara, sebagai tempat yang suci, melindungi manusia dari bahaya, pembersih mala (kotoran rohani), membuat diri menjadi lebih kuat dan kebal (tidak tertusuk oleh senjata), berperan dalam ilmu magic dan objek penyembuh dan menimbulkan unsur seni yang khas. Sebagian besar orang Bali percaya bahwa kain Cepuk Nusa Penida adalah kain misterius yang berasal dari kekuatan magic dan roh halus “wong samar” yang ada di Nusa Penida, contohnya pada figur Ratu Gédé Mas Mecaling, yang dalam ceritanya setiap tahun mengunjungi Pulau Bali dengan grubuk (wabah penyakit dan kematian). Di samping itu juga warna benang yang digunakan pada kain Cepuk mempunyai simbol-simbol warna penjuru mata angin yang diyakini orang Bali. Warna kuning di barat melambangkan Dewa Mahadewa, merah di selatan melambangkan Dewa Brahma, putih di timur melambangkan Dewa Iswara, hitam di utara melambangkan Dewa Wisnu, dan campuran keseluruhan warna tersebut melambangkan Dewa Siwa yang berada di tengah. Oleh karena itu kain Cepuk sering dipakai pada saat upacara keagamaan, sebagai ornamen hiasan rumah atau pameran, sebagai pakaian penari Rangda, Barong, Joged, Baris dan tarian lainnya. Contohnya sebagai kain (pakaian yang dililitkan), tapih (selempang), tatakan (untuk tempat persembahyangan), dan ider-ider (dekorasi bangunan upacara) (Hauser-Schäablin, 1990).
www.mega-studio.blogspot.com

1 komentar: